ANTI KORUPSI DALAM AL-QUR’AN

Blog Single

Oleh: Hj. Umma Farida, Lc., MA

Ketua STAIN Kudus dan Pengurus PW Muslimat NU Jawa Tengah

 

Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia, tetapi sungguh ironi jika negeri ini juga menempati rangking teratas banyaknya pejabat publik yang melakukan korupsi. Lazimnya, korupsi didefinisikan sebagai sikap dan perilaku pejabat publik yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Semua orang telah satu kata menilai korupsi sebagai penyakit masyarakat. Jika pemimpin dan pejabatnya melakukan korupsi secara tidak langsung memberikan tuntunan yang tidak baik bagi rakyatnya. Pejabat yang menyalah gunakan wewenang yang diberikan kepadanya berarti ia telah mengkhianati amanat yang telah dipercayakan kepadanya.

Islam sebagai agama yang selalu mengajarkan kejujuran kerap kali menekankan pentingnya menjauhkan diri dari segala jenis tindakan korupsi dan mengingatkan dampak negatif dari tindakan tersebut, terutama yang berasal dari al-Qur’an yang merupakan sumber ajaran utama bagi umat Islam. Setiap perintah dan larangan yang termaktub dalam al-Qur’an dimaksudkan untuk memberikan tuntunan langkah dalam rangka mengantarkan umatnya menuju kebahagiaan yang hakiki, termasuk ketika al-Qur’an memperingatkan agar umat Islam tidak memakan suatu harta yang diperoleh dengan cara yang tidak baik (batil), Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS. An-Nisa’: 29).

Korupsi termasuk mengupayakan memperoleh harta dengan cara batil. Sebab, dengan korupsi negara telah dirugikan karena dananya yang seharusnya untuk fasilitas umum dan kebutuhan rakyat telah dihabiskan. Karenanya, korupsi merupakan larangan dan digolongkan dalam tindakan yang sangat dibenci Allah, bahkan Allah menilai orang yang melakukan korupsi telah melakukan pengkhianatan. Suatu pengkhianatan atas kepercayaan dan nikmat yang telah diberikan. Ia tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan, masih merasa belum cukup dengan mengambil hak orang lain.

Memang korupsi di negeri ini semakin menggurita. Banyak urusan di negeri ini yang tidak bisa diselesaikan tanpa ‘uang pelicin’, dari memilih dan masuk sekolah, kerja, urusan-urusan administrasi dan publik lainnya. Untuk menjadi pemimpin, pejabat atau politisi pun juga tidak jarang diwarnai dengan money politic, sehingga ketika menjadi pejabat atau terpilih menjadi anggota lembaga legislatif pun harus berjuang sekuat tenaga mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Bahkan, untuk bisa lepas dari jeratan hukum pun harus menyediakan suap yang bisa jadi juga tidak sedikit jumlahnya.

Dalam al-Qur’an ditemukan beberapa istilah yang mendekati terminologi korupsi pada masa sekarang, seperti: Pertama, as-suht dalam QS. al-Ma’idah: 42. Al-Qurtubi menafsirkan makna as-suht yaitu seseorang yang membantu meluluskan keperluan rekannya, lalu orang yang ditolong tersebut memberikan hadiah dan diterima oleh pihak yang ‘meluluskan’ itu. Secara lebih tegas, asy-Sya’rawi, seorang ulama Mesir, mendefinisikan as-suht sebagai segala bentuk upaya yang dilakukan bukan dengan cara yang halal seperti suap, riba, mencuri, menjambret, merampas, serta segala jenis perjudian dan taruhan.

Kedua, ghulul dalam QS. Al-Ma’idah: 161. Pada mulanya istilah ini dimaknai hanya terbatas pada tindakan pengambilan, penggelapan atau berlaku curang dan khianat terhadap harta rampasan perang, karena lazimnya para sarjana tafsir banyak yang mengkaitkan ayat ini dengan peristiwa yang terjadi ketika perang Uhud. Dalam perang ini, Nabi Saw. mengambil strategi dengan menempatkan pasukan pemanah pada posisi di atas bukit pada bagian belakang pasukan Nabi Saw. yang bertugas melindungi pasukan muslimin dari serangan pasukan musyrikin. Pada mulanya pasukan muslimin memang berhasil memukul mundur pasukan musyrikin, namun melihat kemenangan yang belum jelas ini pasukan pemanah tergoda meninggalkan posisi mereka untuk ikut berebut harta rampasan perang, sehingga akhirnya kemenangan awal ini berubah menjadi petaka pilu dan kekalahan bagi pasukan muslimin. Namun seiring dengan perkembangan pemikiran kini, ghulul dimaknai secara lebih luas menjadi tindakan pengkhianatan terhadap harta-harta lainnya, termasuk di antaranya penggelapan terhadap harta publik. Larangan terhadap ghulul ini ditutup dengan ancaman, Barangsiapa yang melakukan pengkhianatan (ghulul), maka pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya, kemudian setiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan.

Ketiga, ghasb (perampasan) dalam QS. Al-Kahfi: 79, yang dimaknai dengan merampas, mengambil harta atau menguasai hak orang lain tanpa izin pemiliknya. Orang yang melakukan korupsi sama halnya dengan mengambil harta dan menguasai sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi haknya.

Keempat, khianat dalam QS. Al-Anfal: 27. Syams al-Azim Abadi menjelaskan bahwa orang yang berkhianat adalah orang yang diberi kepercayaan untuk mengurus sesuatu (barang) tetapi sesuatu itu diambilnya, kemudian ia mengaku kalau barang itu hilang atau ia mengingkari sesuatu itu ada padanya. Sebagai bangsa yang bermartabat seharusnya kita mampu mencegah dan menekan semaksimal mungkin penyakit korupsi ini. Al-Qur’an juga menyetarakan orang-orang yang melakukan korupsi dengan orang-orang yang telah mengkhianati Allah dan Rasul. Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (QS. Al-Anfal: 27).

Kelima, sariqah (pencurian) dalam QS. Al-Ma’idah: 38. Batas minimal harta yang dicuri dan layak mendapat hukuman potong tangan dalam Islam adalah seperempat dinar. Jika 1 dinar diasumsikan sama dengan 1 gram emas, dan harga emas sekarang sekitar Rp. 380.000,- maka seperempatnya kurang lebih Rp. 95.000,-. Sungguh tidak seberapa dibanding dengan banyaknya uang dan harta yang telah dicuri oleh para koruptor di negeri ini. Di sini, tampak jelas bahwa larangan yang ditekankan oleh al-Qur’an sangatlah tegas dan ketat.

Tatkala seseorang melakukan korupsi berarti ia tidak mampu mengendalikan dan mengekang hawa nafsunya. Korupsi merupakan bukti kemenangan nafsu atas diri kita. Padahal jika hawa nafsu telah menguasai diri maka terjauhlah diri dari petunjuk-petunjuk agama. Larangan-larangan Allah yang seharusnya tidak boleh dilanggar menjadi terabaikan, dan justru malah dilakukan.

Serendah apapun kepercayaan yang telah diberikan kepada kita selayaknya tidak kita sia-siakan. Menjadi ‘manusia’ pun termasuk kepercayaan yang diberikan Allah untuk menjadi khalifatullah fi al-ardh (wakil Allah di bumi). Demikian pula kepercayaan dan amanat publik yang diberikan kepada kita juga seyogyanya kita pegang dan laksanakan sepenuh hati sesuai dengan aturan dan ketentuan yang ditetapkan. Dalam al-Qur’an disebutkan, Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. An-Nisa’: 58).

Share this Post1: