Filsafat dan Logika Masyarakat Miskin

Blog Single

Oleh: Soffilah

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat

 

Tulisan ini lahir dari suka duka saya sebagai mahasiswa Filsafat. Pengalaman ini bisa dibilang subjektif, namun jangan diambil hati atau baper jika ada yang sama dengan pengalaman saya.

            Saya sebagai mahasiswa Filsafat kerap mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang aneh. Sejujurnya saya sudah kenyang dengan berbagai pertanyaan miring mengenai jurusan yang saya ambil ini. Dari momen kekenyangan itulah, saya mempunyai hak untuk memetakan pertanyaan-pertanyaan yang saya terima menjadi tiga model pertanyaan.

            Tipe pertanyaan pertama yang sifatnya standar yang biasa keluar dari mulut bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, atau mbak-mbak yang belum pernah bersentuhan dengan Filsafat yaitu Ambil jurusan apa ?, hah... Filsafat?, nanti kalau lulus mau kerja apa?. Namun dari pertanyaan yang standar itu saya pun menjawabnya dengan yang standar-standar pula, karena tidak mungkin saya menceritakan sejarah filsafat dari zaman yunani kuno pra Socrates sampai Postmodern. Karena pada dasarnya kita itu hidup di dunia yang sudah terberi, kalau bahasanya Martin Heidegger  “kamu itu orang yang terlempar dalam fakta”, kalau bahasa Filsafatnya Faktisitas. Kemudian pertanyaan mengenai jurusan Filsafat kerjanya jadi apa dsb itu hanyalah logika pasar, karena bagi masyarakat kita, tujuan kuliah ya untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan mapan. Kalo menurut saya pada dasarnya kuliah ya untuk menuntut ilmu, kalo mau menuntut kerja ngapain anda kuliah, lha wong pekerjaan juga banyak kok. Namun saya yakin tidak hanya tertuju pada jurusan Filsafat saja, melainkan akan ditujukan pada mahasiswa segala macam jurusan. Pada kenyataannya pengangguran juga tidak hanya berasal dari alumni Filsafat. Banyak juga dari alumni-alumni jurusan lain yang nganggur.

            Tipe pertanyaan kedua berasal dari celotehan teman-teman sekelas ataupun lintas jurusan yang pernah dapat mata kuliah Filsafat. Biasanya mereka gremeng tentang begitu sulitnya dan mumet-nya belajar Filsafat. Namun saya jawab dengan balik bertanya : Belajar apa sih yang nggak bikin mumet?. Lha wong yang namanya belajar ya semua mumet, bukan hanya Filsafat.

            Tipe pertanyaan ketiga meningkat satu derajat lebih tinggi, bahkan bisa dikatakan ngeri dan sadis. Pertanyaan ini biasanya keluar dari penilaian yang sepihak atau klaim yang tidak didasari fakta empiris yang kuat dan proses rasio yang mendalam. Pertanyaan tersebut berbunyi : Kamu tidak khawatir keblinger masuk jurusan filsafat? Atau tiba-tiba menjadi Atheis dsb?. Menurutku orang-orang yang mengajukan pertanyaan seperti itu mungkin saja melihat beberapa teman mereka yang tidak menjalankan ritual atau anjuran agama dengan rajin ataupun tidak sama sekali. Hanya dengan melihat dari satu atau dua temannya tersebut dengan seenaknya saja mereka kemudian mengkambing hitamkan Filsafat. Padahal ada lho orang-orang yang mungkin dijurusan lain seperti Ekonomi, Dakwah, Hukum, Bahasa dsb yang tidak pernah belajar Filsafat juga tidak pernah sholat. Karena pada dasarnya terkait tentang tidak sholat dsb itu bukan semata-mata efek dari Filsafat. Tapi karena orangnya males saja, males untuk beribadah. Saya rasa juga sebagian besar pernah merasakan malas untuk beribadah. Silahkan saja tanya pada diri sendiri kalau tidak percaya.

            Tak lepas dari pertanyaan yang ketiga tersebut. Bagi kalangan mahasiswa jurusan lain, banyak klaim aneh-aneh mahasiswa filsafat itu bersumber dari beberapa filosof yang pernyataannya fenomenal. Saking fenomenal nya pernyataan tersebut digunakan begitu saja tanpa dikaji secara mendalam sebab kemunculannya. Seperti halnya Nietzsche dengan pernyataannya bahwa Tuhan telah mati, Karl Marx dengan pernyataannya bahwa Agama adalah candu masyarakat, kemudian Auguste Comte dengan pernyataannya bahwa Agama hanya bahan bicaraan abad pertengahan.

Share this Post1: